Minggu, 12 September 2010

Dan Semua Karena Cinta

Dan Semua Karena Cinta 

 

Selusin tahun bukanlah waktu yang pendek. Tapi selusin tahun bisa pula sebuah rentang waktu yang tak seberapa. Tergantung apa yang kita lakukan pada selusin tahun itu. Kalau selama selusin tahun itu kita hanya ongkang-ongkang kaki dan hidup semata dari deposito milyaran rupiah, berani jamin: tahun ke13 kita sudah boleh menyiapkan selembar nisan bagi diri kita sendiri. Selusin tahun tanpa mengerjakan apa-apa adalah kuburan. Tapi selusin tahun berhubungan dengan seseorang tanpa kejelasan muara, ternyata juga mengerikan!
Itulah yang terjadi pada Sarmi. Sudah selusin tahun ia berhubungan dengan Siban. Pacaran? Ya, pacaran. Sejak mereka masih lagi sama-sama SMA malah. Selama itu mereka pacaran, selama itu pula mereka tak pernah tau betul: hendak dibawa kemana hubungan mereka itu. Apa pasal? Lagi-lagi soal klise: Sarmi dan Siban beda agama. Orang tua Sarmi tak setuju Sarmi menikah dengan Siban. Sementara orang tua Siban, oke-oke saja.
Pilihan orang tua Sarmi jelas: tinggalkan Siban dan mencari orang lain, atau silahkan menikah dengan Siban, tapi jangan lagi berhubungan dengan keluarga. Mak! Bukan sebuah pilihan yang mudah. Menikah dengan Siban memang segalanya bagi Sarmi. Mau cari lelaki yang bagaimana lagi? Wong sudah cinta mati kok.
Siban memang bukan lelaki kaya, atau punya pekerjaan terpandang, atau memiliki wajah ganteng selangit, atau lelaki yang sepenuhnya sempurna. Tidak. Siban lelaki biasa saja seperti umumnya lelaki kebanyakan. Namun namanya juga cinta mati, apa pun jadi. Ya kan. Tapi tak lagi dianggap anak oleh keluarga pun bukan hal main-main. Itulah mengapa, di ujung tanduk masa hubungan selusin tahun ini, terlebih di usia Sarmi yang sudah lewat 30 tahun, Sarmi seperti bingung menentukan pilihan. Siban atau keluarga? Atau cari pasangan lain?
Sebetulnya, mencari pasangan lain pun bukan hal sulit bagi Sarmi. Memang mesti ada permulaan lagi, pendekatan lagi, saling bargaining lagi. Toh tak sedikit yang mendekati serta menyukai Sarmi. Dan Sarmi bukan tak menyadari itu. Ia cantik, punya pekerjaan bagus, karir mapan, rumah dengan isi kumplit, serta hidup mandiri. Tapi yang namanya cinta, duh, bagi Sarmi, Siban memang tak ada duanya.
“Aku mesti gimana, Dan?” rujuk Sarmi suatu hari di telpon.
“Lho, pilihan untukmu kan sudah jelas.”
“Masa’ aku harus meninggalkan keluarga?”
“Berarti kamu memilih Siban.”
“Apa aku cari pasangan lain aja?”
“Ya berarti kamu memilih keluarga. Jelas kan?”
“Duh, kok complicated gini sih hidupku. Di usiaku seperti ini, yang tersisa buatku apalagi kalau bukan duda, bujangan nggak laku, atau lelaki hidung belang…”
“Hahaha! Pesimis gitu sih kamu. Ini soal bagaimana kamu mengambil sikap aja, Mi.”
“Iya, tapi masa’ soal beda agama aja dipermasalahkan.”
“Ya kamu kan nggak hidup sendirian. Kamu punya keluarga yang mesti kamu pertimbangkan juga pendapatnya. Mereka nggak setuju kamu menikah dengan orang yang tak seiman denganmu.”
“Huh! Gimana bisa dikatakan beda agama, lah wong aku tak beragama kok!”
“Hahaha! Sableng kamu!”
“Atau aku menikah sama kamu aja, Dan?”
“Wah, jangan…”
“Lho, napa?”
“Lelaki seperti aku bahaya!”
“Bahaya? Bahaya kenapa?”
“Playboy!”
“Hahahaha!!”
Begitulah Sarmi. Selusin tahun berjalan sudah, dan ia masih belum lagi tau mesti memilih: keluarga atau pacar. Cinta kalau terlalu mati kadang memang membahayakan juga. Bukankah Kahlil Gibran pernah menyatakan: berdirilah sejajar, hanya jangan terlalu dekat. Bukankah tiang-tiang candi tidak dibangun terlalu rapat.
Ribuan kisah cinta memang tak habis untuk direguk manusia. Itulah kenapa ada Romeo dan Juliet di Inggris, ada Sampek-Engtay di Cina, ada Layla-Majnun di Timur Tengah, tak pelak ada Siti Nurbaya di Minang sana. Atau ada yang hendak menjadi pasangan yang menyejarah lainnya? Boleh-boleh saja. Tapi meski demikian, Sarmi dan Siban tak punya obsesi sedikit pun menjadi pasangan yang menghebohkan, apalagi sampai ditulis oleh sejarah sebagai bagian dari peradaban manusia.
Hingga datanglah tahun ke13. Tahun dimana tiba-tiba Sarmi mengabarkanku bahwa ia hendak menikah pada bulan Agustus.
“Kau mesti datang, Dan.” pintanya.
“Ha? Dengan Siban?”
“Ya.”
“Akhirnya…!!!” teriakku lantang.
“Sudah, Dan. Jangan heboh gitu!” ketus Sarmi.
“Hei… gimana ceritanya…” tanyaku tak sabar.
“Sudahlah. Nanti saja itu.”
Aku masih saja tertawa-tawa. Tapi aku berusaha untuk menyanggupi kehadiranku.
“Tapi sebelumnya,” potong Sarmi, “Aku ingin bertemu dengan kalian.”
“Kalian? Dengan DV juga maksudmu?” tanyaku menyebutkan salah seorang sahabat kami.
“Ya. Bertiga.”
“Di kota mana?” tanyaku, karena kami bertiga memang tinggal di kota yang berbeda.
“Di kota KG aja.”
“Wah, ngajak pesta nih kayaknya.”
“Sudahlah. Pokoknya aku ingin bertemu dulu dengan kalian.”
“Oke-oke…” sambutku girang. Tapi Sarmi tetap saja serius.
Aku masih belum lagi tau bagaimana Sarmi dan Siban bersepakat mengambil keputusan itu. Apakah itu berarti Sarmi rela meninggalkan keluarga serta tak lagi diakui sebagai anak? Aku masih belum lagi tau.
Untuk itulah aku menyanggupi kehadiranku. Karena siapa tau ada segi yang menarik untuk ditulis. Bukankah sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, ia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya?
Tiba-tiba, sayup-sayup kudengar suara Enya melantunkan tembang May It Be yang, sungguh mati, membius itu.
Ai, cinta memang dahsyat serta menggetarkan.


karya: khairil ghibran