Rabu, 11 Januari 2012

(Proposal Penelitian) HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN PENCEGAHAN KECACINGAN PADA BALITA DI KECAMATAN TANJUNG KARANG PUSAT BANDAR LAMPUNG TAHUN 2011

(Proposal Penelitian)

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN PENCEGAHAN KECACINGAN PADA BALITA DI KECAMATAN TANJUNG KARANG PUSAT BANDAR LAMPUNG TAHUN 2011









Oleh:
Andri Irawan
Fx Dwi Putra
Juanda
Riyan Perwiratama
Widia Erna Wati



AKADEMI KEPERAWATAN PANCA BHAKTI
BANDAR LAMPUNG
TA 2011/2012
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglecteddiseases). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia anak dan pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian. Salah satu jenis penyakit dari kelompok ini adalah penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi cacing kelompok Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah. Penyakit parasitic yang termasuk ke dalam neglected diseases tersebut merupakan penyakit tersembunyi atau silent diseases, dan kurang terpantau oleh petugas kesehatan.
Penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi Soil Transmitted Helminth merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderita sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena adanya kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dari sisi ekonomi. Kelompok ekonomi lemah ini mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya. Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth yang masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma sp). Infeksi cacing tambang masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena menyebabkan anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia. Spesies cacing tambang yang banyak ditemukan di Indonesia ialah N. americanus. Terdapat penularan melalui hewan vektor (zoonosis) dengan gejala klinis berupa ground itch dan creeping eruption. Pneumonitis, abdominal discomfort, hipoproteinemia dan anemia defisiensi besi merupakan manifestasi infeksi antropofilik.
Komponen sistim imun yang berperan utama ialah eosinofil, IgE, IgG4 dan sel Th2. Tidak terdapat kekebalan yang permanen dan adekuat terhadap infeksi cacing tambang. Diagnosis data epidemiologi berupa pengamatan manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang termasuk pemeriksaan imunologis. Pengobatan dilakukan dengan mebendazole, albendazole, pirantel pamoat dan berbagai terapi suportif. Belum ada vaksin yang efektif terhadap cacing tambang sehingga perbaikan higiene dan sanitasi adalah hal yang utama.Cacing tambang merupakan salah satu cacing yang dapat menyebabkan kehilangan darah bagi penderita sehingga sangat memungkinkan terjadinya anemia. Terjadinya anemia diduga karena adanya bekas gigitan cacing tambang pada dinding usus yang relatif sulit menutup akibat adanya enzim cacing yang memiliki sifat sebagai antikoagulan sehingga darah sukar membeku. Kejadian infeksi cacing tambang pada suatu wilayah biasanya saling menyertai antara 3 spesies cacing usus penyebabnya, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang. Di Ekuador, kejadian infeksi cacing usus ini ditemukan sebanyak 48 % pada anak dengan infeksi cacing tambang sebesar 24,1 %. Jumlah kejadian tidak mengalami penurunan setelah dilakukan
pengobatan dengan rentang waktu 9 bulan. Sebanyak 50 % wanita di Chiapas, Mexico terinfeksi Necator americanus. Cacing ini seringkali ditemukan bersama dengan penyebab anemia lainnya seperti pada kehamilan dan masa menstruasi. Kadar hemoglobin ditemukan relatif lebih rendah (4,1 g/dl) pada wanita dengan infeksi cacing tambang bila dibandingkan dengan wanita yang tidak terinfeksi cacing ssstambang (7,0 g/dl).
Infeksi cacing tambang juga berhubungan dengan kemiskinan. Menurut Peter Hotez (2008), semakin parah tingkat kemiskinan masyarakat akan semakin berpeluang untuk mengalami infeksi cacing tambang. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan dalam menjaga higiene perorangan dan sanitasi lingkungan tempat tinggal. Prevalensi kejadian infeksi cacing tambang di Ethiopia Selatan pada anak sekolah mencapai angka 26,8 %.
Di Indonesia, angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6 % masih relatif cukup tinggi. Program pemberantasan penyakit kecacingan pada anak yang dicanangkan tahun 1995 efektif menurunkan prevalensi kecacingan menjadi 33,0 % pada tahun 2003. Sejak tahun 2002 hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan adalah sebesar 33,3 %, 33,0 %, 46,8 % 28,4 % dan 32,6 %. Kejadian infeksi cacing tambang prevalensinya jauh lebih rendah, yaitu secara berurutan untuk tahun yang sama adalah sebesar 2,4 %, 0,6 %, 5,1 %, 1,6 % dan 1,0 %.
Kejadian infeksi kecacingan pada anak menurut Aria Gusti (2004), berhubungan negatif signifikan dengan perilaku sehat.10) Sementara itu kejadian infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada anak di Desa Tanjung Anom, Sumatera Utara menunjukkan adanya hubungan dengan status gizi anak. Anak yang tidak terinfeksi cacing memiliki status gizi yang relatif lebih baik dibandingkan anak yang terinfeksi cacing. Di Desa Suka Kabupaten Karo Sumatera Utara, kejadian infeksi cacing tambang pada anak sekolah sebesar 55,8 % namun demikian infeksi ini masih merupakan infeksi campuran dengan spesies lain yaitu Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Prevalensi infeksi cacing tambang di desa Suter Bali sebesar 11,77 % sedangkan sebesar 21,57 % merupakan infeksi campuran dengan cacing usus lainnya.
Hasil pembiakan cara modifikasi Harada Mori (Kosin) untuk identifikasi larva cacing tambang adalah : 33,33 % N. americanus, 60,00 % A. duodenalis dan 6,67 % campuran (N. americanus +A. duodenalis).13) Kejadian infeksi cacing tambang di Desa Talapeta, Medan sebesar 8,6 % sedangkan di kawasan Namorambe sebesar 10,9 %.12) Angka kejadian infeksi cacing tambang dibandingkan dengan infeksi cacing perut lainnya memang relative lebih kecil, namun apabila dicermati dampak dari infeksi cacing tambang tampaknya menjadi masalah yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Data pasti kejadian infeksi cacing tambang di Jawa Tengah tidak ditemukan dalam profil kesehatan propinsi. Demikian pula data kejadian di Kabupaten Demak. Penelusuran data ke Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Kabupaten Demak bahkan beberapa Puskesmas di Kabupaten Demak tidak menemukan data kejadian infeksi kecacingan. Beberapa data yang dapat dijadikan rujukan adalah data kejadian infeksi kecacingan di beberapa daerah di Jawa Tengah. Kejadian infeksi cacing tambang pada karyawan penyadap karet di perkebunan Kalimas Semarang sebesar 61,2 %.
Data lain menunjukkan kejadian infeksi cacing tambang bersama cacing usus lainnya pada anak sekolah di SD Rowoboni Banyubiru Semarang sebesar 10,42 %.15) Sementara itu pada anak SDN 02 dan 04 Bandarharjo Semarang ditemukan kejadian infeksi cacing usus sebesar 30,9 %.16)\ Berdasarkan kegiatan pra survei pada sebanyak 59 anak sekolah di Desa Rejosari Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak bulan Juli 2009, diperoleh angka kejadian infeksi cacing tambang sebesar 20,30 %. Angka temuan ini relative tinggi bila dibandingkan dengan beberapa data kejadian infeksi di kota lain. Ketersediaan lahan pertanian mencapai 45,8 %, kondisi sanitasi rumah yang buruk mencapai 42,4 %, masih adanya perilaku buang air besar di kebun sebesar 45,8 % dan kebiasaan anak bermain di tanah mencapai 57,6 % merupakan beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mencegah infeksi cacing tambang pada anak. (www.library@unair.ac.id)


Berdasarkan hasil penelitian beberapa faktor yang terbukti menjadi faktor risiko kejadian infeksi cacing tambang diantaranya adalah : keberadaan cacing tambang pada tanah halaman rumah, sanitasi rumah buruk , kebiasaan bermain di tanah lama dan kebiasaan defekasi di kebun. (http://pondokibu.com/kesehatan/cara-mencegah-cacingan/)
Selain itu, Hasil penelitian Rifdah (2007) tentang kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar negeri di Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor pada Tahun 2007 diperoleh kesimpulan bahwa faktor resiko yang paling dominan terhadap kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar negeri di Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor adalah kebiasaan mencuci tangan. Penelitian untuk mencari faktor-faktor yang berhubungan dengan kecacingan, khususnya askariasis telah diteliti oleh Ismid dkk (1988). Ternyata didapat hubungan bermakna antara adanya askariasis dengan kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan. Anak yang berperilaku buruk berisiko lebih besar mengalami infestasi kecacingan daripada anak yang berperilaku baik. (Ginting, 2005)
Meski pengobatan bisa membunuh cacing-cacing tersebut, namun obat tidak akan bisa membunuh telur-telur cacing. Untuk itu disarankan untuk melakukan pencegahan penyebaran telur-telur cacing tersebut dengan menerapkan pola hidup higienis, yang sekaligus juga berguna sebagai langkah pertama mencegah infeksi. Berikut beberapa metode higienis yang bisa anda terapkan pada keluarga anda.
• Cucilah tangan dan jari-jari kuku hingga bersih(disarankan menggunakan sabun antikuman) sebelum makan dan setelah buang air besar atau buang air kecil.
• Jangan biarkan kuku anda dan keluarga panjang, agar telur-telur cacing lebih sulit terjebak di sela-sela kuku.
• Pakailah pakaian dalam bersih saat malam
• Biasakan sikecil untuk tidak memasukan tangan kedalam mulut.
• Basuh bokong dengan air hingga bersih setiap pagi, atau setelah buang air besar dan buang air kecil.
• Hindari pemakaian pakaian dalam, atau handuk bersama.
• Cuci sprei, mainan, dan pakaian secara rutin.
• Bersihkan debu, dan kotoran didalam rumah dengan menyapu dan mengepelnya. (http://www.kafebalita.com/content/articles/read/2009/07/jika-cacingan-menyerang-si-kecil/1208)
Karena bahaya nya penyakit kecacingan yang dapat menyebabkan balita terserang intelegensi nya dan bisa mengurangi sumber daya manusia, maka penulis mencoba ingin mengadakan penelitian mengenai hubungan tingkat pengetahuan ibu dan sikap pencegahan kecacingan pada balita di Kecamatan tanjung Karang Pusat Bandar Lampung. Agar dapat memberikan informasi pula pada ibu mengenai pengambilan sikap pencegahan kecacingan sejak dini.


B. Perumusan Masalah

a. Permasalahan:
• Peneliti menunjukkanbahwa 90% anak Indonesia mengidap cacingan
• Kurangnya pengetahuan ibu mengenai masalah kecacingan dan pencegahan nya
• Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecacingan pada anak-anak
• cacingan dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, dan kecerdasan penderitanya sehingga dipandang sangat merugikan


C. Pertanyaan Penelitian
• Bagaimana pengetahuan ibu mengenai masalah kecacingan pada balita?
• Bagaimana sikap ibu mencegah terjadinya kecacingan pada balita?
• Adakah hubungan antara pengetahuan ibu dan sikap pencegahan dalam mengatasi masalah kecacingan pada balita?


D. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum
Mempelajari hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap pencegahan kecacingan pada balita di Kecamatan Tanjung Karang Pusat



b. Tujuan Khusus
• Mengidentifikasi pengetahuan ibu mengenai masalah kecacingan pada balita
• Mengidentifikasi sikap ibu dalam pencegahan terjadinya masalh kecacingan pada balita
• Menganalisa hubungan pengetahuan dan sikap pencegahan ibu mengenai masalah kecacingan pada balita

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini dibatasi pada pengetahuan tentang kecacingnan hubungannya dengan sikap pencegahan ibu terhadap kecacingan yang meliputi : Penggunaan air bersih, penggunaan sabun saat mencuci tangan dan kaki, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
F. Manfaat Penelitian

• Mengurangi dampak terjadinya kecacingan pada balita
• Meningkatkan pengetahuan ibu mengenai kecacingan
• Meningkatkan kesadaran ibu untuk pencegahan kecacingan sejak dini pada balita
• Memberi pengetahuan pada ibu mengenai cara pencegahan kecacingan pada balita









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Kecacingan

Infeksi cacing terdapat luas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis, terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya. Semua umur dapat terinfeksi kecacingan dan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak. Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan diri dan lingkungan. Infeksi kecacingan adalah ditemukannya satu atau lebih telur cacing padapemeriksaan tinja (Rifdah,2007). 2.1.1 Jenis Cacing Perut yang Ditularkan Melalui Tanah (soil transmitted helminths)dan Jalur Pajanannya. Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus (cacing perut), yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing perut terdapat sejumlah species yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura). Jenis-jenis cacing tersebut banyak ditemukan didaerah tropis seperti Indonesia. Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh manusia yang merupakan hospes defenitifnya. (Depkes RI, 2006)
Menurut Luthfianti,2008 faktor-faktor prnyebab kecacingan adalah:
1. Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
Cacing jenis ini banyak ditemukan di daerah tropis dengan kelembapan tinggi, termasuk Indonesia. Jika sudah dewasa panjangnya bisa mencapai 10-30 cm. Biasanya hidup di usus halus. Bila dilihat secara langsung, warnanya kuning kecokelatan dan bergaris-garis halus. Cacing ini hidup hanya dalam tubuh manusia.



2. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (Cacing Tambang )

A. Ancylostoma duodenale
Perkembangbiakannya tidak hanya di daerah tropis, tapi menyebar ke seluruh dunia. Ukuran dewasa cacing ini 8-12 cm, dan cacing ini bisa menghabiskan 0,03 cc darah per hari. Seperti lazimnya cacing jenis lain, betinanya akan bertelur dan telurnya akan keluar lagi bersama tinja. Di tanah, telur akan menetas dalam 2 hari dan dalam 3-5 hari menjadi larva yang bersifat infektif. Karena sering mengisap darah, gejala yang timbul bisa berupa anemia dan kekurangan zat besi. Namun, gejala ini biasanya baru timbul bila sudah terjadi infeksi berat dan berlangsung cukup lama.
B. Necator americanus
Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000 – 10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kirakira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi.

3. Trichuris trichiura (Cacing cambuk)
Manusia merupakan hospes cacing ini. Cacing betina panjangnya sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000 – 5.000 butir. Telur yang dibuahi dikelurkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan infektif) dalam waktu 3 – 6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Sama halnya dengan cacing gelang, cacing cambuk juga banyak ditemukan di daerah tropis, seperti di Indonesia. Bedanya, bila cacing gelang senang tinggal di usus halus, maka cacing gelang betah tinggal di usus besar dan terkadang di usus buntu. Di usia 1 bulan, cacing betina akan bertelur 3.000-10.000 butir per hari. Telur-telur ini tidak selamanya berkembang biak dalam usus, karena kemungkinan terbawa keluar bersama feses. Setelah 3-4 minggu berada di tanah, dia akan menjadi larva. Jika termakan, larva ini akan pecah di usus halus dan keluar menuju usus besar sampai menjadi dewasa. Untuk mencari makanan cacing dewasa membenamkan kepalanya di dinding usus besar.


2.2 Gejala Klinik Infeksi Kecacingan

Gejala kecacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan penyakitpenyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk. Orang (anak) yang menderita Cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang.Pada anak-anak yang menderita Ascariasis perutnya nampak buncit (karena jumlah cacing dan kembung perut), biasanya matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes), dan seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, nafsu makan kurang. Karena orang (anak) masih dapat berjalan dan sekolah atau bekerja, sering kali tidak dianggap sakit, sehingga terjadi salah diagnosis dan salah pengobatan. Padahal secara ekonomis sudah menunjukkan kerugian yaitu menurunkan produktifitas kerja dan mengurangi kemampuan belajaran. (Depkes RI, 2006)


2.3 Dampak Infeksi Kecacingan Terhadap Kesehatan
Adanya cacing dalam usus akan menyebabkan kehilangan zat besi sehingga menimbulkan kekurangan gizi dan anemia. Kondisi yang kronis ini selanjutnya dapat berakibat menurunnya daya tahan tubuh sehingga anak mudah jatuh sakit. Cacingan sendiri merupakan pertanda bahwa kebersihan perorangan pada panderita kurang baik sehingga ini merupakan peluang untuk terjadinya berbagai infeksi saluran pencernaan. Jika keadaan ini berlangsung kronis maka pada usia sekolah akan terjadi penurunan kemampuan belajar yang selanjutnyaa berakibat penurunan prestasi belajar. Pada orang dewasa, gangguan ini akan menurunkan produktivitas kerja. (Sasongko, 2000)


Hasil penelitian Ginting (2005) juga diperoleh kesimpulan bahwa infestasi cacing pada anak akan mengganggu pertumbuhan, menurunkan kemampuan fisik, produktifitas belajar dan intelektualitas. Selain itu juga dapat menyebabkan gangguan gizi, anemia, gangguan pertumbuhan yang pada akhirnya akan mempunyai pengaruh terhadap tingkat kecerdesan seorang anak. Cacing perut yang ditularkan melalui tanah dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, Karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.(Depkes RI, 2006)
Selain itu, ada beberapa akibat dari kecacingan pada anak jika diteruskan dan tidak dicegah sejak dini.
•Penurunan fungsi kognitif (kecerdasan)
• Kurang darah
• Diare menahun dengan atau tanpa tinja berdarah
• Gatal-gatal di sekitar anus
• Radang paru-paru ( sindroma Loeffler )
• Malnutrisi ( kurang gizi )
• Biduran
• Gangguan pertumbuhan
• Radang usus buntu
• Sumbatan usus
• Nyeri perut



Beberapa kasus akibat sering terjadinya re-infeksi cacing dan bila kasusnya terjadi terlalu lama dan tidak segera diobati, dapat menyebabkan hal-hal berikut ini:
1. Akibat Cacing Gelang
Jika si penderita terus menerus terinfeksi cacing gelang sehingga jumlah cacing gelang yang ada didalam usus meningkat sehingga terjadi penyumbatan usus.
2. Akibat Cacing Cambuk
infeksi cacing yang lama dan tidak diobati, hal ini menyebabkan keluarnya jaringan anus
Tentu saja tidak semua akibat di atas dapat terjadi pada semua penderita kecacingan, yang paling sering ditemukan adalah kurang darah ( anemia )


2.4 Faktor Resiko Yang Berhubungan Dengan Kecacingan
Hasil penelitian Rifdah (2007) tentang kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar negeri di Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor pada Tahun 2007 diperoleh kesimpulan bahwa faktor resiko yang paling dominan terhadap kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar negeri di Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor adalah kebiasaan mencuci tangan. Penelitian untuk mencari faktor-faktor yang berhubungan dengan kecacingan, khususnya askariasis telah diteliti oleh Ismid dkk (1988). Ternyata didapat hubungan bermakna antara adanya askariasis dengan kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan. Anak yang berperilaku buruk berisiko lebih besar mengalami infestasi kecacingan daripada anak yang berperilaku baik. (Ginting, 2005) (http://andhief.wordpress.com/2009/10/07/akibat-kecacingan-pada-seorang-anak)



2.5 Pencegahan Infeksi Kecacingan
Menurut Satari (2007) tidak sulit untuk mencegah kecacingan pada anak. Adapun langkah-langkah yang diberikan untuk diterapkan pada anak-anak, antara lain:
1. Mandikan anak setiap hari. Gunakan air bersih yang bebas dari larva cacing. Jika perlu, gunakan sabun yang bisa membasmi larva cacing.
2. Jangan biarkan kuku anak memanjang. Guntinglah kuku anak secara teratur. Kuku bisa menjadi tempat mengendap kotoran yang mengandung telur atau larva cacing.
3. Biasakan anak untuk cuci tangan dengan sabun. Lakukan setiap kali setelah anak memegang benda-benda kotor atau sebelum makan.
4. Biasakan anak untuk selalu menggunakan sandal atau sepatu bila keluar rumah, terutama bila berjalan di tanah. Tanah yang lembab merupakan tempat favorit cacing untuk berkembang biak.
5. Bila ingin memakan sayuran mentah (lalapan) atau buah-buahan, cucilah dengan air bersih yang mengalir. Bila perlu gunakan sabun yang bisa digunakan untuk mencuci sayuran dan buah-buahan agar bersih dari hama.
6. Memberi anak pengertian agar tidak memasukkan jarinya ke dalam mulut. Terangkan kepadanya akibat yang bisa terjadi.
7. Lakukan toilet training pada waktunya dan ajarkan cara menjaga kebersihan saat buang air besar dan buang air kecil.
8. Pelihara kebersihan lingkungan, baik di dalam maupun halaman rumah.
9.Anjurkan pengasuh anak mencuci tangan sebelum memegang anak atau menyuapi anak.
10.Menutup makanan agar terhindar dari lalat.
11. Hindari jajan makanan sembarangan
12. Anjurkan anggota keluarga minum obat cacing setiap 3 atau 4 bulan sekali.
13. Minumlah obat cacing secara rutin minimal 4 bulan sekali untuk seluruh keluarga
14. Pilihlah obat cacing yang dapat membunuh semua jenis cacing, terutama yang perlu diperhatikan adalah kemampuannya membasmi cacing cambuk
(sumber : www.anakku.com)
Menurut Sasongko (2000), kunci pemberantasan cacingan adalah memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan, misalnya, tidak menyiram jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya beberapa detik ke dalam air mendidih. Juga tidak jajan di sembarang tempat, terlebih lagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci tangan sebelum makan, bukan hanya sesudah makan. Dengan begitu, rantai penularan cacingan bisa diputus. Sama halnya dengan Sadjimin (2000) yang mengatakan bahwa higiene yang kurang sangat mendukung penyebaran infestasi cacing.


2.6 Domain Perilaku

Perilaku terdiri dari 3 domain, yakni : pengetahuan, sikap dan praktik. Notoatmodjo (2005)
A. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan penglihatan (mata).
B. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Menurut Allport (1954) sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu :
a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek. Artinya, bagaimana penilaian orang tersebut terhadap objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak. Artinya, sikap merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.
C. Praktik atau tindakan
Praktik atau tindakan adalah semua kegiatan atau aktifitas yang dilakukan seseorang dengan tujuan tertentu Praktik atau tindakan dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu : praktik terpimpin, praktik secara mekanisme dan adopsi


2.7 Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku mencuci tangan memakai sabun

2.7.1 Asal Sekolah
Berbeda dengan sekolah umum atau sekolah dasar negeri, MI (Madrasah Ibtidaiyah) biasanya mata pelajaran yang diberikan berbeda proposinya dengan sekolah umum (Harsono, 2008) Pendidikan yang didapat oleh siswa-siswi di sekolah akan menentukan perilaku anak tersebut, karena sekolah merupakan tempat pembelajaran yang baik bagi anak.

2.7.2 Jenjang Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin baik pula pendidikan yang didapat oleh orang tersebut. Pendidikan yang baik akan lebih mudah mengetahui dan memahami pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat, dengan pendidikan yang baik, maka diperoleh pengetahuan yang baik dan pengetahuan yang baik akan lebih mudah menentukan sikap yang baik serta mengambil langkah-langkah untuk berbuat sesuatu. (Tjokke, 2007)

2.7.3 Jenis Kelamin
Sebagian besar anak laki laki dan perempuan dibesarkan dalam cara yang sangat berbeda, yang nantinya akan mempengaruhi seseorang dalam bertindak. Tidak ada yang membantah bahwa beberapa sifat (trait) kepribadian tampaknya lebih dominan pada salah satu jenis kelamin dibanding jenis kelamin lain. Saat dewasa, sebagian besar orang cenderung untuk bertindak sesuai harapan sosial yang dibebankan pada jenis kelaminnya. (Mahendratto, 2008). Menurut Rosemini (2007), orang tua memiliki pengaruh besar dalam pembentukan konsep gender pada anak-anak. Semakin anak tumbuh besar, orang tua akan semakin membeda-bedakan perlakuan terhadap anak lakilaki dan anak perempuan. Secara psikologis, anak laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan perilaku yang berbeda dikarenakan penggunaan bagian otak yang berbeda. Anak laki-laki lebih banyak menggunakan sisi kanan otak (sisi praktis). Penelitian menunjukkan bahwa sejak lahir sudah ada perbedaan perilaku antara anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan lebih responsif dari pada anak laki-laki.

2.7.4 Karakteristik Keluarga
1. Pekerjaan orangtua
Pekerjaan orangtua mempengaruhi penghasilan dan perekonomian keluarga. Anak dengan kondisi perekonomian yang rendah berisiko mengalami infeksi kecacingan lebih besar daripada anak dengan tingkat perekonomian yang baik. (Ginting, 2005). Hasil penelitian Limin Ginting pada anak SD di Kecamatan Sei Bingai Langkat, Sumatra Utara 2005 diperoleh kesimpulan bahwa anak dengan kondisi perekonomian yang rendah berisiko mengalami infeksi kecacingan 76 kali lebih besar daripada anak dengan tingkat perekonimian yang tinggi. Ibu yang bekerja diluar rumah cenderung memiliki sedikit waktu untuk mengurus keluarga. Ketika seorang ibu bekerja, pada saat yang sama ibu tersebut akan kehilangan waktu yang sangat berharga untuk mengasuh anak-anaknya. (Pazriani, 2007)
2. Tingkat pendidikan orangtua
Untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal, pendidikan merupakan syarat yang harus dipenuhi. Seseorang dengan pendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga mereka memiliki kesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu juga mereka mempunyai akses untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan usaha pemeliharaan kesehatan. (Khomsan, 2006 dalam Pazriani, 2007). Tingkat pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam menyerap dan memahami sesuatu. Tingkat pendidikan ayah berkaitan dengan pekerjaan dan jumlah pendapatan. Sedangkan tingkat pendidikan ibu berkaitan dengan pola asuh anak. (Pazriani, 2007).

3. Kebiasaan Orangtua
Anak membutuhkan orangtua yang dapat menyadarkan dan menanamkan kebiasaan akan pentingnya mencuci tangan. Apalagi dengan aktivitas anak yang begitu rentan bersentuhan dengan kuman dan bakteri. “Kebiasaan mencuci tangan pada anak sebetulnya merupakan bagian dari toilet training. Yaitu, saat anak belajar tentang kapan buang air kecil dan kapan buang air besar, serta menjaga kebersihan,” ujar Bibiana Dyah (2007) dalam Susanti (2007). Dengan diawali dari kesadaran ibu atau pengasuh untuk selalu membiasakan kebersihan terutama pada anak, menurut Bibiana Dyah, ini akan membuat anak terbentuk sikap untuk menjadi bersih. Sama halnya dengan pendapat Erman (2007), khususnya kebiasaan mencuci tangan ini, dilakukan saat anak bahkan ada dalam usia di bawah satu tahun. Dibutuhkan peran aktif orangtua khususnya ibu. Misalnya saat bayi usia empat bulan dan sedang mengalami masa oral, perlu kehatihatian ibu dalam menjaga anak.

4. Dukungan Orangtua
Orangtua merupakan faktor penentu bagi anak-anaknya untuk berperilaku. (Damayanti, 2007). Orangtua yang memberikan perhatian kepada anak anaknya, memberikan semangat dan konsisten dalam menerapkan disiplin cenderung memiliki anak yang berkembang dan mempunyai keyakinan diri yang kuat dalam melakukan suatu tindakan. (Hatter dalam Damayanti, 2007)
a. Menjadi contoh/teladan
b. Memberikan reward – punisment
c. Menerapkan standar perbandingan sesuai dengan kemampaun bukan membandingkan dengan oranglain. Menerima dukungan atau anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku (Health Belief Model menurut Becker, Tahun 1979). Misalnya, seorang anak akan membiasakan untuk mencuci tangannya memakai sabun jika orangtuanya selalu memberikan anjuran untuk melakukan perilaku tersebut.

2.7.5 Keterpaparan Informasi Kesehatan
Pada era globalisasi saat ini berbagai informasi dapat dengan mudah kita dapatkan termasuk informasi mengenai kesehatan. (Pazriani, 2007). Informasi tersebut bukan hanya mudah didapat oleh orang dewasa, melainkan usia anak-anak juga bias dengan mudah memperoleh informasi. Guru merupakan salah satu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku bagi murid-muridnya di sekolah. (Green dalam Notoatmodjo, 2005). Partisipasi guru disekolah mempengaruhi perilaku murid-murinya. Misalnya, guru selalu mengingatkan murid-muridnya untuk selalu memcuci tangan memakai sabun setelah selesai menyapu kelas atau setelah selesai bermain pada jam istirahat sekolah untuk mencegah terjadinya infeksi pada muridmuridnya. Seorang guru atau pendidik di sekolah harus dapat memberikan dan menanamkan kebiasaan hidup sehat kepada murid dengan cara menjadi teladan khususnya disekolah. Seorang pendidik juga harus dapat memberikan pendidikan kesehatan baik pada saat siswa berada didalam kelas maupun saat berada diluar kelas. Selain pendidik di sekolah, perilaku anak juga sangat dipengaruhi oleh orangtuanya. Kurangnya komunikasi, informasi dan edukasi yang diterima anak-anak dari orangtua mereka mengenai infeksi kecacingan dari orangtuanya menyebabkan anak tersebut kurang memperhatikan kebersihan diri mereka terutama kebiasaan untuk mencuci tangan dengan sabun. (Sadjimin, 2000). Berdasarkan Theory of Reasoned Action (Teori Aksi Beralasan) dari Fishbein dan Ajsen (1980), niat seseorang mempengaruhi orang tersebut untuk bertindak.
Perilaku tersebut bersifat ‘normatif” dan apa yang dilakukan orang lain(terutama orangorang didalam kelompok. Misalnya, teman sebaya) pada situasi yang sama. Pada masa usia sekolah (6-12 tahun) anak-anak mulai belajar bergaul dengan teman-teman sebayanya. (Gunarsa, 1991). Keterpaparan informasi kesehatan juga bisa diperoleh anak-anak dari penyuluhan-penyuluhan yang diadakan disekolah-sekolah. Penyuluhan tersebut, khususnya penyuluhan tentang kesehatan biasanya dilakukan oleh puskesmas setempat atau dari Dinas Kesehatan. Informasi lain yang mungkin didapat oleh anak-anak adalah sumber informasi dari media massa, terutama telavisi. Disatu sisi media massa terutama televisi menjadi sarana sebagai media informasi, hiburan bahkan bisa sebagai kemajuan kehidupan, namun disisi lain televisi juga dapat menularkan efek yang buruk bagi sikap, pola pikir, perilaku anak. (Admin, 2008) Semakin banyak informasi yang didapat oleh seseorang maka akan semakin besar pengaruhnya terhadap perilaku seseorang. Terutama jika informasi tersebut disampaikan dengan cara yang benar, karena penyampaian informasi yang baik dapat merubah perilaku seseorang yang tadinya tidak melakukan sesuatu menjadi melakukan sesuatu. (Effendy, 1990)
2.7.6 Kebijakan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga yang didirikan untuk membina dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, baik fisik, mental, moral, maupun intelektual dan sekolah merupakan tempat untuk meletakkan dasar perilaku bagi anak, termasuk perilaku kesehatan. Peran guru disekolah sangat penting, karena guru pada umumnya lebih dipatuhi oleh anak-anak daripada orangtuanya. Sekolah dan lingkungan sekolah yang sehat sangat kondusif untuk berperilaku sehat bagi anak-anak. (Notoatmodjo, 2005).
Kebijakan merupakan salah satu faktor penguat bagi seseorang untuk berperilaku. (Green dalam Notoatmodjo, 2005). Anak-anak sekolah dasar melalaikan kebiasan mencuci tangan memakai sabun karena tidak adanya peraturan tentang kebiasaan mencuci tangan dengan sabun disekolah atau kurangnya peringatan yang diberikan oleh pihak sekolah, terutama guru terhadap perilaku tersebut.

2.7.7 Fasilitas
Ketersediaan fasilitas merupakan salah satu faktor penguat bagi seseorang untuk berperilaku. (Green dalam Notoatmodjo, 2005) Terkadang walaupun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya karena tidak tersedianya fasilitas. Jika disekolah telah tersedia fasilitas atau sarana mencuci tangan, sebaiknya juga dilengkapi dengan sabun untuk mencuci tangan dan mencukupi jumlah sarana tersebut. Pihak sekolah juga juga harus dapat mendorong pemerintah setempat dalam hal peningkatan fasilitas-fasilitas yang dapat merangsang anak untuk bias mempraktekkan hidup bersih dan sehat disekolah.





2.8 Pentingnya Mencuci Tangan Memakai Sabun

Di Indonesia program mencuci tangan memakai sabun pernah diadakan oleh PT Unilever yang menyelenggarakan program ”Lifebuoy Berbagi Sehat – Kampanye Mencuci Tangan dengan Sabun”, dengan harapan agar kebiasaan sehat berupa mencuci tangan memakai sabun dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya di dalam setiap keluarga Indonesia. Peluncuran kampanye yang dilaksanakan di lapangan Gedung Aldiron Dirgantara pada 23 Maret 2008 dihadiri oleh pihak Departemen Kesehatan serta 200 murid SD. Mereka diikutsertakan dalam kegiatan mencuci tangan bersama guna menanamkan pengertian bahwa cuci tangan dengan sabun adalah hal penting yang harus dijadikan kebiasaaan untuk hidup yang sehat. Diharapkan anak-anak ini kelak dapat mewariskan kebiasaan ini kepada anggota keluarga, saudara dan teman teman dan bahkan nanti kepada anak cucu mereka.
Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari mengatakan bahwa kebiasaan mencuci tangan dengan air saja, tidak cukup untuk melindungi seseorang dari kuman penyakit yang menempel di tangan. Terlebih bila mencuci tangan tidak dibawah air mengalir. Berbagi kobokan sama saja saling berbagi kuman. Kebiasaan itu harus ditinggalkan. Mencuci tangan pakai sabun terbukti efektif dalam membunuh kuman yang menempel di tangan. Gerakan nasional cuci tangan pakai sabun dilakukan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk pengendalian risiko penyakit yang berhubungan dengan lingkungan seperti diare dan penyakit kecacingan. (Hr. Suara Karya 18/6/06) Sama halnya dengan Erman (2007) yang mengatakan bahwa, untuk mengatasi kuman dibutuhkan pengertian akan pentingnya kebiasaan mencuci tangan oleh siapapun. Bukan hanya sekedar mencuci tangan saja melainkan juga menggunakan sabun dan dilakukan di bawah air yang mengalir karena sabun memiliki kandungan basa dan itu bisa mengurangi atau melemahkan kuman yang ada di tangan. Semakin tinggi kadar basanya, semakin bagus juga kemampuannya untuk mengatasi kuman. (Susanti, 2007).
Dewan kota Franklin di New Jersey, Amerika sudah mengesahkan peraturan tentang cuci tangan melalui system voting dengan suara bulat, untuk membantu kesehatan masyarakat di kota tersebut. Peraturan Dewan kota Franklin tentang cuci tangan diantaranya adalah pada semua kamar mandi harus dalam kondisi bersih/sehat secara terus menerus, menyediakan air panas dan air dingin, dan penyediaan tissue WC juga sabun tangan beserta alat-alat pengeringan tangan. Peraturan ini sebagai sarana pendidikan pedagang eceran pinggir jalan di dalam praktek penyediaan WC yang\ bersih. Anggota Dewan, Shirley Eberle, sebagai salah satu anggota Badan Penasihat dari Bidang Kesehatan, mengatakan, bahwa peraturan ini akan membantu kota menjadi sehat dan mengatakan bahwa WC umum yang sudah terdapat sabun akan mendorong orang-orang untuk mencuci tangan mereka. Menurut Pusat-pusat Pencegahan dan Kendali Penyakit (CDC), cuci tangan adalah tindakan paling utama dan menjadi satusatunya cara mencegah serangan dari penyakit. Cuci tangan adalah murah, mudah, dan untuk mencegah penyakit. Dan pencegahan penyakit adalah yang paling pentinga dari itu semua. (Journal of Environmental Health, 2006)
Tujuan utama dari cuci tangan secara higienis adalah untuk menghalangi transmisi patogen-patogen kuman dengan cepat dan secara efektif. (Carl A Osborne, 2008). Kebersihan tangan yang tidak memenuhi syarat juga berkontribusi menyebabkan penyakit terkait makanan, seperti Salmonella dan infeksi E. Coli. Menurut data CDC and The American Society for Microbiology (2005), sebanyak 76 juta rakyat Amerika terkena penyakit terkait makanan setiap tahunnya, dari jumlah ini, 5.000 di antaranya meninggal.
Menurut Iswara (2007), mencuci tangan dalam upaya peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sangatlah penting dan mudah dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010. Mencuci tangan menjadi penting jika ditinjau dari:
1. Kulit tangan banyak kontak dengan berbagai aktivitas, benda dan lingkungan
2. Kuman dapat terdapat di kulit jari, sela kuku, kulit telapak tangan
3. Kontak mulut dan tangan saat makan / minum
4. Dapat menimbulkan penyakit saluran cerna



2.9 Kapan Saja Harus Mencuci Tangan Memakai Sabun
Mencuci tangan memakai sabun sebaiknya dilakukan sebelum dan setelah beraktifitas. Berikut ini adalah waktu yang tepat untuk mencuci tangan memakai sabun menurut Handayani , dkk (2000)
1. Sebelum dan setelah makan
2. Setelah ganti pembalut
3. Sebelum dan setelah menyiapkan makanan, khususnya sebelum dan setelah memegang bahan mentah, seperti produk ternak dan ikan
4. Setelah memegang hewan atau kotoran hewan
5. Setelah mengusap hidung, atau bersin di tangan
6. Sebelum dan setelah mengiris sesuatu
7. Sebelum dan setelah memegang orang sakit atau orang yang terluka
8. Setelah menangani sampah
9. Sebelum memasukkan atau mencopot lensa kontak
10. Setelah menggunakan fasilitas umum (mis. toilet, warnet, wartel, dll)
11. Pulang bepergian dan setelah bermain
12. Sesudah buang air besar dan buang air kecil


2.10 Bahaya Jika Tidak Mencuci Tangan
Disamping manfaat secara kesehatan yang telah terbukti, banyak orang tidak melakukannya sesering yang seharusnya bahkan setelah ke kamar mandi. Jika tidak mencuci tangan memakai sabun, kita dapat menginfeksi diri sendiri terhadap kuman dengan menyentuh mata, hidung atau mulut. Dan kita juga dapat menyebarkan kumanke orang lain dengan menyentuh mereka atau dengan menyentuh permukaan yang mereka sentuh juga seperti handel pintu. Penyakit infeksi umumnya menyebar melalui kontak tangan ke tangan termasuk demam biasa (common cold), flu dan beberapa kelainan sistem pencernaan seperti diare. Kebersihan tangan yang kurang juga menyebabkan penyakit terkait makanan seperti infeksi Salmonella dan E.coli.

Berdasarkan Pusat Pengendalian & Pencegahan Penyakit (CDC), sebanyak 76 juta warga Amerika menderita penyakit akibat makanan setiap tahunnya dan sekitar 5000 orang meninggal akibat penyakit ini. Beberapa mengalami gejala yang mengganggu seperti mual, muntah, diare. (Lestari, 2008)

2.11 Cara Mencuci Tangan Yang Baik

Menurut CDC and The American Society for Microbiology (2005) berikut langkah-langkah cuci tangan yang tepat:
1. Basahi tangan dengan air mengalir yang hangat, pakailah sabun secara rata.
2. Gosokan kedua tangan minimal 10-15 detik, merata hingga ke jari-jemari dan siku
3. Bilas dengan air, kemudian keringkan tangan dengan handuk bersih atau tisu sekali pakai.
4. Jika Anda di fasilitas umum, biarkan air tetap mengalir saat Anda selesai. Saat tangan sudah kering, pakailah kertas tisu untuk menekan/memutar keran.


2.12 Proses Kejadian Penyakit

Hubungan interaktif antara manusia serta perilakunya dengan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dikenal sebagai proses kejadian penyakit. Proses kejadian suatu penyakit disebut sebagai patogenesis penyakit. Patogenesis penyakit dan perilaku pemajan dapat digambarkan dalam teori simpul oleh Achmadi (1991) dalam Achmadi (2005), sebagai berikut :
proses kejadian penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul, yaitu simpul 1, sebagai sumber penyakit atau agent penyakit seperti : agent biologi, fisik atau kimia ; simpul 2, sebagai komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit, seperti : udara, air, tanah, makanan, dan binatang ; simpul 3, sebagai variabel kependudukan sseperti : perilaku, sedangkan simpul 4, yaitu pemajan yang dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami interaksi dengan komponen lingkungan yang mengandung bibit penyakit. Sumber Penyakit Sakit / Sehat Media Transmisi : Komponen Lingkungan Perilaku Pemajan Variabel Lain Yang Berpengaruh



Kerangka Teori





Kerangka Konsep








BAB III

METODE PENELITIAN


1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian survai dengan menggunakan pendekatan potong lintang (cross sectional) yaitu penelitian dilakukan dengan mengamati kejadian penyakit kecacingan pada balita dan sikap pencegahan ibu terhadap kecacingan
Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel bebas yang meliputi :
Penggunaan air bersih, Penggunaan sabun saat mencuci tangan dan kaki, Perilaku Hidup bersih dan Sehat
Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjung Karang Pusat kota Bandar lampung
b. Waktu
Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2012 – Februari 2012

2. Populasi Dan Sampel
a. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah rumah yang memiliki balita di Kecamatan Tanjung Karang Pusat,Kota Bandar lampung.
b. Sampel
Penentuan besar sampel dalam penelitian ini digunakan rumus estimasi proporsi dengan presisi mutlak (Ariawan, 1998) seperti di bawah ini :

{Z21-/2 P(1 – P)
n = --------------------
d2
Dimana :
n = Perkiraan besar sampel
P = Proporsi populasi.
d = Presisi.
Z = derajat kepercayaan
Perkiraan besar sampel (n) ditentukan dengan derajat kepercayaan (Z1-/2) yaitu 95% (1,960), proporsi populasi balita (0,20) dan presisi (0,10) diperoleh besar sampel 128 keluarga balita.
c. Tehnik Sampling
Teknik sampling yang dilakukan untuk menentukan keluarga balita terpilih dengan menggunakan acak sederhana (random sampling) yang diperoleh dari data keluarga yang memiliki balita.

4. Pengumpulan data
Cara pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan responden dan pengamatan langsung.
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari :
a. Data primer, yaitu: data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan quesioner dan pengamatan langsung sikap pencegahan ibu dengan menggunakan check list. Wawancara dan pemeriksaan kesehatan balita berkaitan dengan kejadian Kecacingan, dan pengamatan terhadap sikap ibu yang meliputi penggunaan air bersih,Penggunaan sabun saat mencuci tangan dan kaki,Kondisi kecerdasan balita,kondisi kesehatan.
b. Data skunder, yaitu data yang diperoleh dari profil yang berasal dari Puskesmas Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota Bandar Lampung

5. Pengolahan dan analisa data
1. Pengolahan data
Data yang diperoleh dari wawancara dan penelitian kemudian dilakukan pengolahan mulai dengan pemeriksaan data, menyuting data (Editing), mengkode data (Coding), memasukkan data (Entry), lalu membersihkan data (Cleaning) dan tabulasi (Tabulating).

2. Analisa data
1) Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan untuk menjelaskan hubungan masing-masing variabel yang diteliti dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan proporsi.
2) Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara tingkat pengetahuan ibu (variabel independen) dengan pencegahan Kecacingan (variabel dependen) Uji statistik yang digunakan adalah: Chi-Squire (X2), dengan rumus sebagai berikut: (Sabri : 1999:110)
3) Analisa Multivariat
Analisis multivariate yang digunakan untuk mengetahui factor risiko kondisi pengetahuan ibu yang berhubungan dengan Kecacingan digunakan analisis Regresi Ganda.

6. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel bebas terdiri dari : Penggunaan air bersih, Penggunaan sabun saat mencuci tangan dan kaki, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
b. Variabel terikat yaitu kejadian Kecacingan

7. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel-variabel penelitian tersebut adalah :
a. Penggunaan air bersih : sikap untuk menggunakan air yang bersih dan sehat yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa dalam memenuhi kebutuhan air sehari- hari
b. Penggunaan sabun saat mencuci tangan dan kaki : menggunakan selalu sabun ketika mencuci tangan dan kaki setelah melakukan aktivitas terutama ketika ingin makan agar kuman yang ada di tangan dan kaki bias hilang dan kita tetap sehat
c. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat : Perilaku yang dilakukan oleh keluarga yang sesuai dengan indikasi sehat yang terdiri dari 10 indikator yang dapat mempertahankan kesehatan keluarga
d. Kejadian Kecacingan pada balita : Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglecteddiseases),penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia anak dan pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian. penggunaan air bersih,Penggunaan sabun saat mencuci tangan dan kaki,Kondisi kecerdasan balita,kondisi kesehatan

8. Hipotesa
1. Terdapat hubungan antara pengetahuan penggunaan air bersih dengan pencegahan penyakit Kecacingan
2. Terdapat hubungan antara PHBS (Perilaki Hidup Bersih dan Sehat) dengan pencegahan penyakit Kecacingan
3. Terdapat hubungan antara pembuangan kotoran dengan pencegahan penyakit Kecacingan














DAFTAR PUSTAKA


• (www.library@unair.ac.id)
• (http://pondokibu.com/kesehatan/cara-mencegah-cacingan/)
• (http://www.kafebalita.com/content/articles/read/2009/07/jika-cacingan-menyerang-si-kecil/1208)
• L wong, Donna, Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta,2004
• Behrman, Kligman, Arvin dan Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta,2000